NAMA : GITA NURUL AZANIA
NPM : 23213757
KELAS : 2EB15
HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)
1.
PENGERTIAN
Kontrak atau
contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering
dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Menurut Subekti, kontrak atau
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Ada juga
yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian atau
serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi
dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut
dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Menurut Pasal 1313
Kitab Undang Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pengertian perjanjian adalah
suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
2. PENGATURAN
Kontrak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata di Buku ketiga
tentang Perikatan. Buku ketiga disamping mengatur tentang perikatan yang timbul
dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang undang. Contoh
perikatan yang lahir dari undang-undang sebagi berikut :
- Perikatan
yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara penghuni pekarangan
yang saling berdampingan.
- Perikatan
yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak
- Perikatan
karena adanya perbuatan melawan hukum.
- Perikatan
yang timbul karena perbuatan sukarela, sehingga perbuatan sukarela
tersebut haruslah dituntaskan.
- Perikatan
yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.
- Perikatan
yang timbul dari perikatan wajar.
Buku ketiga
Kitab Undang Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka. Maksud dari sistem
terbuka adalah orang dapat mengadakan perjanjian tentang apapun juga (meski
menyimpang dari yang telah ditetapkan buku ketiga) sesuai kehendaknya (baik
mengenai bentuk ataupun isinya) sepanjang tidak bertentangan dengan undang
undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jadi aturan buku ketiga Kitab Undang
Undang Hukum Perdata merupakan hukum pelengkap yang berlaku bagi para pihak
sepanjang tidak mengesampingkan perjanjian mereka.
Dasar-dasar
dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Karena itu Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu
kontrak. Di samping sumbernya dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tersebut,
yang menjadi sumber hukum kontrak adalah sebagai berikut:
- Peraturan
perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis kontrak
tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.
- Yurisprudensi,
yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan
kontrak.
- Perjanjian
Internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur
tentang aspek bisnis internasional.
- Kebiasaan-kebiasaan
bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.
- Doktrin
atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.
- Hukum
adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut denganh kontrak-kontrak
tradisional bagi masyarakat pedesaan (Munir Fuady, 2005 : 10).
3.
ASAS DALAM HUKUM KONTRAK
·
Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari
perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan
bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak,
artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh
yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya
sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan
perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun
dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis
sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang
tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh
yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak
mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang
mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin
melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang
tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas
barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu
sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum
perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas
tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur
tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1)
sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang
berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
undang-undang.
·
Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda (aggrements must
be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi
hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi
dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969
yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to
it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat
para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan
oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan
mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang
mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum
implendorum obligati).
Menurut
Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa
kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua
alasan, yaitu :
1.
Sifat kesederhanaan bahwa
seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti
orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran
dan kesetiaan
2.
Bahwa setiap individu memiliki
hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila
seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada
alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya
melalui kontrak.
·
Kebebasan Berkontrak
Yang
dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai
sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang
diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja,
asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan
ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat
dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan
perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan
seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
Kebebasan
berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum
perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak
asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang
lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d.Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e.Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undangundang yang
bersifat opsional (aanvullend, optional).
Lebih lanjut Sutan Remy
Sjandeini mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara
lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal,
artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang
lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam
hukum perjanjian Indonesia.
Kebebasan berkontrak atau
freedom of contract harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat
berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau
timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas
mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan
berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan
oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan
asas yang tidak tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan
ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320
ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh
"asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga
mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak
dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan
berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat
pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh
kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan
undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai
kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk
membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah
tidak sah.
Pasal 1332 memberikan
arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut
objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan
setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang
mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek
kontrak.
Pasal 1338 ayat (3) menentukan
tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak.
Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu
kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu
dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk,
misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian,
asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak membuat
perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad
baiknya.
Sekalipun asas kebebasan berkontrak
yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata
itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah
menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang membuat
kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang
tidak sama.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar