Minggu, 26 April 2015

Hukum Perjanjian (Kontrak)

NAMA : GITA NURUL AZANIA
NPM    : 23213757
KELAS  : 2EB15

HUKUM PERJANJIAN (KONTRAK)

1.       PENGERTIAN
            Kontrak atau contracts (dalam bahasa inggris) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Menurut Subekti, kontrak atau perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
            Ada juga yang memberikan pengertian kepada kontrak sebagai suatu perjanjian atau serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

2.      PENGATURAN
               Kontrak diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata di Buku ketiga tentang Perikatan. Buku ketiga disamping mengatur tentang perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari undang undang. Contoh perikatan yang lahir dari undang-undang sebagi berikut :
  • Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu diantara penghuni pekarangan yang saling berdampingan.
  • Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak
  • Perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum.
  • Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela, sehingga perbuatan sukarela tersebut haruslah dituntaskan.
  • Perikatan yang timbul dari pembayaran tidak terhutang.
  • Perikatan yang timbul dari perikatan wajar.
         Buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka. Maksud dari sistem terbuka adalah orang dapat mengadakan perjanjian tentang apapun juga (meski menyimpang dari yang telah ditetapkan buku ketiga) sesuai kehendaknya (baik mengenai bentuk ataupun isinya) sepanjang tidak bertentangan dengan undang undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jadi aturan buku ketiga Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan hukum pelengkap yang berlaku bagi para pihak sepanjang tidak mengesampingkan perjanjian mereka.

           Dasar-dasar dari hukum kontrak nasional terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Karena itu Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan sumber utama dari suatu kontrak. Di samping sumbernya dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tersebut, yang menjadi sumber hukum kontrak adalah sebagai berikut:
  • Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur khusus untuk jenis kontrak tertentu atau mengatuir aspek tertentu dari kontrak.
  • Yurisprudensi, yakni putusan-putusan hakim yang memutuskan perkara berkenaan dengan kontrak.
  • Perjanjian Internasional, baik bersifat bilateral atau multilateral yang mengatur tentang aspek bisnis internasional.
  • Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek sehari-hari.
  • Doktrin atau pendapat para ahli yang telah dianut secara meluas.
  • Hukum adat di daerah tertentu sepanjang yang menyangkut denganh kontrak-kontrak tradisional bagi masyarakat pedesaan (Munir Fuady, 2005 : 10).
3.      ASAS DALAM HUKUM KONTRAK

·         Asas Konsensualisme
         Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
                  Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.

               Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.

·         Asas  Pacta Sunt Servanda

        Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).

         Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

            Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1.      Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2.      Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.

·         Kebebasan Berkontrak

             Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luas­nya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk meng­adakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
                        
         Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan­kan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat per­janjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".

        Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract­vrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. 

          Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.

       Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:


a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d.Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e.Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

       Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.

          Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pem­batasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).

       Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.


             Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.

          Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ber­tentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.

              Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.

        Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak mem­buat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

       Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang mem­buat kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama.

Sumber :







Tidak ada komentar:

Posting Komentar